Hakekat Mati
Menurut para ulama kematian bukan sekadar ketiadaan atau kebinasaan belaka, tetapi sebenarnya mati adalah terputusnya hubungan roh dengan tubuh, terhalangnya hubungan antara keduanya, dan bergantinya keadaan dari suatu alam ke alam lainnya. Mati termasuk musibah terbesar bagi setiap Manusia, dan Allah Subhanahu wa Ta’ala menyebutnya dengan nama musibah tersebut. Perhatikan firman-Nya,
فَأَصٰبَتْكُم مُّصِيبَةُ الْمَوْتِ
“Lalu kamu ditimpa musibah kematian.” (QS.Al-Maa’idah: 106)
Dengan demikian, mati memang musibah terbesar dan bencana paling dahsyat. Sungguh pun demikian, para ulama kita mengatakan bahwa ada musibah yang lebih besar daripada mati, yaitu lalai terhadap mati, tidak peduli, dan jarang memikirkannya, serta tidak beramal baik sebagai persiapan untuk menghadapi kedatangannya. Padahal mati itu sendiri merupakan pelajaran bagi orang yang mau mengerti tentang hakikat hidup, sekaligus pemikiran bagi orang yang mau berfikir.
Dalam sebuah kabar yang diriwayatkan dari Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam dikatakan, “Andaikan binatang ternak mengerti (pelajaran) dari kematian sebagaimana yang kamu ketahui, niscaya tidak akan ada seekor binatang gemuk yang bisa kamu makan.”
Dalam riwayat lain menyebutkan bahwa seorang Arab Badui berjalan mengendarai ontanya. Tiba-tiba onta itu jatuh tersungkur lalu mati. Maka Arab Badui itu turun, mengitari kendaraannya dan bertanya-tanya, “Kenapa kamu tidak mau berdiri? Kenapa tidak mau bangkit?
Anggota tubuhmu masih lengkap, dan seluruh alat indramu masih utuh, tapi mengapa? Apa yang membuatmu begini? Apa yang menjadikanmu bisa berdiri, dan apa yang membuatmu sekarang tersungkur? Dan, apa yang telah mencegahmu untuk bergerak?”
Akhirnya, onta yang sudah tidak bernyawa(Mati) itu pun ditinggalkannya. Dia pulang sambil terheran-heran dan memikirkan kejadian yang baru ditimpanya.
Benar, orang-orang pun menyenandungkan syair tentang seorang tokoh pemberani yang tiba-tiba mati,
Sebelum kematiannya tiba,
pertanda telah datang mengabartnya,
ia jatuh terkapar,
terhenyak pada tangan dan mulutnya.
Dia enyahkan baju besi dan tombaknya.
Lalu bentangkan jasad,
terlentang dada tengada
bagai kayu besar terbelah dua.
O, kasihan! Penunggang kuda ksatria,
Ada apa denganmu?
Kekuatan sirna dan tak bicara.
Ini, dua tangannya.
Ini, semua raganya.
Tidak satu pun terluka
Tidak tercerai juga.
O, betapa pedih tiada kata!
Jika Allah menjatuhkan qadar-Nya.
Musibah besar menghampiri Anda,
tatkala tidak mengagungkan-Nya.
Kematian adalah berita nyata Kita di sini menjadi saksi.
Betapa dahsyat ketika terjadi. Namun ingin slalu ingkari.
At-Tirmidzi Al-Hakim Abu Abdillah meriwayatkan dalam Nawadir Al-Ushul; Telah bercerita kepada kami, Qutaibah bin Sa’id dan Al-Khathib bin dari Abdul Aziz Al-Majisyun, dari Muhammad bin Al-Munkadir, dia berkata, Salah seorang anak dari Nabi Adam Alaihissalam meninggal dunia. Maka beliau berkata,
“Hai Hawa, anakmu telah mati.”
“Apa Mati itu ?” tanya Hawa.
Nabi Adam menjawab, “Tidak makan, Tidak minum, Tidak Berdiri dan tidak duduk. “Maka Hawa pun Menangis keras.
Akhirnya, Nabi Adam berkata, “Hindari dirimu dan Anak-anak perempuanmu dari tangis keras, Aku dan Anak-anak laki-laki tidak bertanggung jawab atas hal itu”.
Penjelasan Singkat tentang Isti’tab
Pada pembahasan lalu terdapat kutipan sabda Nabi Shallallahu Alaihi Sallam berbunyi, “Fa la’allahu an yasta’ tiba” (Barangkali dia akan meminta ridha). Memang, arti Al-Isti’ tab adalah “Thalab al-‘Utba,” yakni meminta keridliaan. Tetapi keridhaan itu tidak mungkin diperoleh kecuali dengan bertauby dan menarik diri dari melakukan dosa-dosa.
Kata Al-Jauhari, “Ista’taba” Artinya, “Thalaba an yu’ taba” (Dia minta diridhai). Jika kamu berkata, “Ista’ tabtuhu Fa a’tabani,” itu artinya, Aku telah meminta ridhanya, maka dia pun membuat aku senang. Di dalam Al-Qur’an pun ada pernyataan mengenai orang-orang kafir,
فَإِن يَصْبِرُوا۟ فَالنَّارُ مَثْوًى لَّهُمْ ۖ وَإِن يَسْتَعْتِبُوا۟ فَمَا هُم مِّنَ الْمُعْتَبِينَ
“Dan jika mereka meminta ridha, maka tidaklah mereka termasuk orang-orang yang diridhai.” (QS.Fushshilat: 24).
Benarkah Ada Orang yang Ingin Mati?
Adapun mengenai siapakah yang menginginkan mati, maka ada riwayat dari Sahal bin Abdullah At-Tusturi, bahwa dia berkata, “Tidak ada yang menginginkan mati kecuali tiga kelompok; Orang yang tidak menyadari tentang hal-hal yang bakal terjadi setelah mati (Kehidupan setelah kematian), atau orang yang lari dari takdir-takdir Allah yang telah ditetapkan pada dirinya, atau orang yang rindu dan ingin bertemu dengan Allah Azza wa Jalla.”
Ada riwayat lain mengatakan bahwa ketika Malaikat Maut datang kepada Nabi Ibrahim, Khalil Ar-Rahman, untuk mencabut nyawanya, beliau berkata, “Hai Malaikat Maut, pernahkan kamu melihat seorang kekasih mencabut nyawa kekasihnya?”
Atas pertanyaan itu Malaikat Maut bergegas menemui Allah Dan Allah Subhanahu Wata’ala pun berfirman kepadanya, “Katakan kepadanya, pernahkah kantu melihat seorang kekasih yang tidak ingin bertemu dengan kekasihnya?”
Malaikat Maut itu pun kembali menemui Nabi Ibrahim, dan kali ini beliau berkata, “Cabutlah nyawaku sekarang juga!”
Abu Ad-Darda’ Radhiyallahu Anhu, meriwayatkan “Tidak seorang pun yang beriman, kecuali dia meyakini bahwa mati adalah lebih baik baginya. Barangsiapa tidak percaya kepada ucapanku, maka sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah berfirman,
وَمَا عِندَ اللَّـهِ خَيْرٌ لِّلْأَبْرَارِ
“Dan apa yang ada di sisi Allah adalah lebih baik bagi orang-orang yang berbakti.” (QS.Ali Imran: 198).
Dan firman-Nya pula,
وَلَا يَحْسَبَنَّ الَّذِينَ كَفَرُوٓا۟ أَنَّمَا نُمْلِى لَهُمْ خَيْرٌ لِّأَنفُسِهِمْ ۚ إِنَّمَا نُمْلِى لَهُمْ لِيَزْدَادُوٓا۟ إِثْمًا ۚ وَلَهُمْ عَذَابٌ مُّهِينٌ
“Dan janganlah sekali-kali orang-orang yang kafir itu menyangka, bahwa pemberian tangguh Kami kepada mereka adalah lebih baik bagi mereka.” (QS.Ali Imran: 178).
Begitu pula Hayan bin Al-Aswad radhiyallahuanhu berkata, “Mati adalah jembatan yang mengantarkan seorang kekasih(Hamba) kepada Kekasihnya(Allah Subhanahu Wata’ala).“